Sebelum pulang ke Aceh, Zaini bahkan sempat cari muka di hadapan presiden Jokowi.

Ada besi di matanya; sementara pidatonya, tak berisi kata-kata untuk menyelesaikan urusan; urusannya hanya untuk kata-kata belaka, agar pidatonya lancar dan nyata.

Menyapanya, mestilah dengan sebutan Abu Doto, biar pun ia bukan seorang ulama hanya untuk ulama sapaan Abu lazim digunakan di Aceh.

Dia adalah Zaini Abdullah, orang Aceh yang lama bermukim di salah satu negara Skandinavia (Swedia), yang saat ini menjabat sebagai gubernur Aceh bersama wakilnya Muzakir Manaf untuk periode 2012-2017.

Setidaknya, masa jabatan Zaini yang tersisa sekitar dua tahun lagi bila dihitung dari tahun 2015, yang tidak lama lagi akan dimulai.

Begitulah penilaian Kuntoro Mangkusubroto dalam pernyataan kepada media, terkait pembangunan Aceh pasca-tsunami yang telah berusia satu dekade.

Sebagai mantan ketua BRR (Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi) Aceh-Nias di masa lalu, apa yang disampaikan oleh Kuntoro bukanlah sebatas argumentasi tanpa melihat kondisi ekonomi rakyat Aceh saat ini.

Ada nada kekecewaan di balik pernyataan yang disampaikan oleh Kuntoro tersebut.

Betapa tidak, sudah triliunan rupiah biaya yang dihabiskan untuk rekonstruksi Aceh pasca-tsunami.

Baik uang itu berasal dari dalam negeri maupun luar negeri (negara pendonor dan LSM asing).

Kendati demikian, tidak banyak perubahan signifikan yang berdampak pada tumbuhnya perekonomian rakyat Aceh.

Di mana kemiskinan dan pengangguran kian bertambah jumlahnya.

Gubernur Zaini selaku pihak eksekutif provinsi Aceh, bagaikan memilih sikap cuek dalam menanggapi realita perekonomian Aceh.

Ditambah lagi, selama provinsi Aceh dipimpin oleh Zaini, praktik KKN makin mewabah (indeks korupsi di Aceh meningkat); sedangkan potret pendidikan dan pembangunan, malah semakin runyam.

Tapi nyatanya, itu sebatas angin surga yang berhembus lewat ucapan Zaini.

Sebab saat ini, banyak sanak-famili dan kerabat Zaini justru ditempatkan pada jabatan penting dalam struktur administrasi provinsi Aceh.

Tentu saja ini adalah perilaku nepotisme, yang merupakan bagian dari tiga serangkai perilaku tikus negara, atau disebut korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).

Jalan yang menghubungkan daerah-daerah di pesisir barat-selatan dengan pusat ibukota provinsi Aceh, Banda Aceh, terputus total untuk jangka waktu beberapa hari.

Praktis, kebutuhan sembako dan berbagai jenis kebutuhan primer lainnya jadi terhambat.

Sikap kepekaan sosial seorang pemimpin, sangatlah diperlukan pada situasi genting seperti ini, agar wibawa kepemimpinannya makin kokoh di mata dan hati rakyat.

Di mana, kaki Zaini pun tak terendam dengan air luapan banjir.

Mungkin Zaini seorang dokter, jadi harus selalu menjaga kebersihan dan kesehatan.

Walau prinsip ini tidak pantas dan tidak pada tempatnya, karena rakyat sedang dilanda bencana.

Belum lagi, bantuan berupa beras bagi korban justru tak layak konsumsi; sebab sudah menghitam dan membusuk.

Program Gubernur Aceh Zaini Abdullah